RSS

Senin, 10 Mei 2010

poin penting dari suatu venue gigs adalah akankah menjadi kenangan dalam waktu cepat?

Mungkin tulisan ini lebih berupa curhatan saya atas kondisi scene indie di Bandung saat ini. Yah, tulisan ini mungkin mewakili juga berbagai perasaan para scenester (orang yang struggle dan through dalam scene indie) tentang kondisi tempat untuk mengadakan gigs musik di Bandung khususnya, bahwa akhir tahun lalu Laga Pub yang biasa menjadi tempat untuk mengadakan gigs musik dilarang oleh pemeritah karena alasan-alasan birokrasi yang tak jelas! Alasan waktu itu dan sempat juga menjadi perbincangan bagi para scenester bahwa Laga Pub akan dijadikan sebuah museum. Karena menurut pihak birokrat, seputaran daerah Asia Afrika akan dijadikan pusat konsentrasi dan highlight utama bagi nilai-historis atau sejarah di kota Bandung. Jadi di daerah tersebut tidak diperbolehkan ada suatu kegiatan apapun apalagi yang mengundang masa. Well, dengan alasan seperti itu apakah ditutup juga klub dangdut, klub remang-remang, panti pijat, klub karaoke, dsb. Yang ada di sekitar daerah tersebut???
Melihat kondisi seperti itu memunculkan berbagai kebingungan. Apalagi saat ini kian sulitnya mencari tempat yang representative untuk mengadakan gigs yang sebenarnya sangat disayangkan, apalagi meliahat fenomena anak muda Bandung yang kian antusian terhadap perkembangan musik indie saat ini. Banyak potensi yang bisa dikembangkan. Apalagi banyaknya band-band yang potensial terus lahir dan lahir setiap hari, setiap jam, setiap menit, bahkan setiap detik. Fakta membuktikan bahwa di Bandung setiap hari selalu muncul 5 band baru. Saya sangat menyayangkan dengan kondisi seperti ini jikalau tidak adanya venue gigs yang menjadi media bagi mereka untuk memuntahkan semua apresiasi bermusiknya.
Apalagi sekarang ketakutan pun muncul dalam benak saya ketika di Malaysia dilarang untuk mengadakan event musik indie/black metal especially (so called underground atau cutting edge punk, metal, hardcore, melodic core, emo, dsb.) Uh….makin merajalela saja tampaknya Siti Nurhaliza dan Too Phat membombardir kancah permusikan di Malaysia. Alasan pemerintah Malaysia bahwa musik indie atau black metal itu identik dengan “musik setan”. Ada suatu event indie yang diacak-acak oleh polisi setempat layaknya polisi Indonesia yang sedang melakukan penggusuran lahan penduduk di pinggiran Jakarta yang sedang ramai saat ini. Kemudian polisi itu menggebuki, memukuli, dan menangkap para musisi atau penonton seperti polisi yang memukuli para mahasiswa yang demo. Dan kini hal itu berimbas pada pelarangan gigs musik indie entah itu punk, metal, dan hardcore, atau malah indie rock sekalipun. Saya membayangkan bila hal ini terjadi pula di Indonesia, dimana musik indie sama dengan “musik setan”. Kemudian pemerintah menyusun RUU pelarangan musik indie (Punk, Metal, Hardcore) dibuatkan bab-bab dan pasalnya. Uh… Membayangkannya saja sudah takut.
Jadi apa yang bisa dilakukan sekarang???
Tentunya kondisi seperti ini jangan dibiarkan kelanjutannya. Seperti yang kita ketahui, di Bandung khususnya pernah mengalami kebingungan serupa, ketika GOR Saparua yang sudah menjadi surga bagi para pecinta musik indie di Bandung, dilarang untuk mengadakan lagi gigs musik. Hal itu membuat jutaan musisi indie di Bandung banting gitar. Dari musisi kemudian menjadi penjual the botol, dari pemain drum ia kini hanya menganggur di rumah, contohnya saja Marcel, seorang penggebuk drum PUPPEN, yang merupakan salah satu pengusung band indie di Bandung, kini menjadi seorang penyanyi yang bersolo karir. Akhirnya banyak band yang bubar, banyak crew yang harus kembali kesulitan mencari kerja dan menambah daftar pengangguran, banyak orang tua yang melarang anak gadisnya berpacaran dengan anak band indie, atau bahkan melarang anaknya untuk menyalurkan apresiasinya dalam hal bermusik, banyak anak muda yang berhenti bermimpi untuk menjadi seorang musisi dan bla…bla…bla…! Uhhhhh….Tentunya hal ini jangan dibiarkan kembali, apalagi atmosfer bermusik di Indonesia khususnya di Bandung sudah lebih bahkan sangat asyik dan kompetitif.
Kemudian statement pun bergulir disana-sini. Muncul statement bahwa larangan tersebut diakibatkan dari gedung Saparua yang sangat mengkhawatirkan. Namun, fakta yang saya lihat justru GOR Saparua sekarang sering dipakai oleh band-band semisal Padi, Dewa, Radja, Ungu, dll. What the hell with our government now! Sangat labil dan nggak konstan. Aturan yang bias? Ataukah masalah utamanya adalah duit? Hehehehe….
Memang jalur musik indie jauh memprihatinkan daripada musik-musik yang sering kalian dengar di televisi, seperti Padi, Dewa, Radja, dll. Hanya saja musik indie mempunyai ciri khas yang sangat berbeda dengan musik-musik lainnya, misalnya saja gaya dalam memainkan musik diatas panggung, lagu yang dibawakan, aliran yang diusung, dsb. Memang jalur musik indie tidak mempunyai penghasilan yang luar biasa seperti band major, tetapi musik indie mempunyai kebebasan yang amat sangat dalam bermusik.
Tentunya kejadian seperti itu tidak ingin menimpa scene indie di Bandung saat ini, atau bahkan untuk selamanya. Apalagi sampai mematikan potensi-potensi band indie yang potensial yang terus lahir karena tidak adanya venue!!! Sangat disayangkan. Kita tahu ada beberapa tempat yang bisa digunakan oleh para scenester di Bandung, seperti Dago Tea House, Score Ciwalk, dan akhir-akhir ini TRL menjadi pusat konsentrasi dan highlight utama yang sering mengadakan gigs musik. Dan bersyukurlah, karena nama terakhir ini menjadi pemicu ledak membombardirnya gigs di Bandung. Namun, tempat yang terlalu kecil dan berbagai kekurangan yang lainnya. Dan poin pentingnya adalah : “Akankah menjadi kenangan kembali dalam waktu yang cepat?”. Saya harap tidak.
Membutuhkan venue gigs yang istimewa aja sulit, apalagi bisa membuat nilai historis atau mengandung nilai historically layaknya GOR Saparua? Atau malah karekter orang Indonesia saja yang menuntut sana-sini tanpa melakukan suatu gerakan sekalipun? Dimana lagi kita akan berpesta, berdansa dan ber-sing along ria? Siapa yang bisa menjawab???

0 komentar:

Posting Komentar